Jagat media sosial kembali dihebohkan dengan beredarnya gambar tiga perempuan muda yang tampak menunjukkan ekspresi jijik saat berada di sebuah pasar tradisional. Salah satu dari mereka bahkan terlihat menjulurkan lidah dan menutup hidung seolah tidak tahan dengan bau di sekitar.
Unggahan tersebut disertai tulisan yang menyebutkan bahwa ketiga cewek itu merasa “jijik, mual, dan pengen muntah” setelah mencium aroma khas pasar. Tak butuh waktu lama, potongan gambar itu pun langsung menyebar luas dan menjadi bahan perbincangan hangat di berbagai platform media sosial.
Reaksi Warganet: Dari Kesal hingga Geram
Mayoritas warganet merasa kesal dan menilai tindakan ketiga cewek itu tidak sopan. Pasar tradisional dianggap sebagai tempat yang memiliki nilai sosial dan ekonomi tinggi bagi masyarakat kecil. Di situlah ribuan pedagang menggantungkan hidupnya setiap hari.
“Orang-orang yang kerja di pasar itu bangun subuh, ngangkut barang berat, berjuang buat nyari rezeki halal. Masa malah dihina kayak gini?” tulis salah satu pengguna X (Twitter) dengan nada geram.
Ada juga yang menyebut perilaku tersebut mencerminkan kurangnya rasa empati dan penghargaan terhadap pekerjaan orang lain. “Mereka mungkin belum pernah ngerasain susahnya hidup di bawah. Bau pasar itu bau perjuangan, bukan bau jijik,” tambah komentar lain.
Namun, tidak semua memberikan tanggapan negatif. Beberapa netizen mencoba bersikap netral dengan berpendapat bahwa mungkin para cewek tersebut hanya bereaksi spontan karena tidak terbiasa dengan aroma kuat yang sering muncul di pasar, terutama di area penjualan ikan atau daging segar. “Mungkin mereka cuma kaget aja, nggak bermaksud menghina,” tulis seorang pengguna Facebook.
Fenomena Ketidakterbiasaan dengan Lingkungan Tradisional
Peristiwa ini juga membuka diskusi lebih luas tentang perubahan gaya hidup masyarakat modern. Banyak generasi muda saat ini lebih akrab dengan pusat perbelanjaan modern seperti supermarket atau mall, yang bersih, ber-AC, dan beraroma harum.
Pasar tradisional, di sisi lain, memang memiliki aroma yang khas—campuran dari ikan, sayur, rempah, dan berbagai bahan makanan segar. Bagi sebagian orang yang jarang ke pasar, aroma ini bisa terasa menyengat.
Namun bagi masyarakat yang terbiasa, bau tersebut justru dianggap sebagai bagian dari keseharian yang penuh makna.
“Pasar tradisional bukan sekadar tempat jual beli, tapi juga pusat interaksi sosial dan simbol ekonomi rakyat,” ujar seorang sosiolog dari salah satu universitas di Jakarta ketika diminta tanggapannya oleh sebuah media lokal.
Ketika seseorang merasa jijik dengan pasar, sebenarnya itu menunjukkan adanya jarak sosial dan kultural antara masyarakat kota modern dan kehidupan rakyat kecil.
Warganet Serukan Edukasi dan Rasa Hormat
Melihat ramainya hujatan, beberapa akun edukatif mencoba mengambil sisi positif dengan mengingatkan pentingnya empati dan rasa hormat. Mereka menilai, insiden seperti ini bisa dijadikan pelajaran agar generasi muda lebih memahami realitas sosial di sekitarnya.
Salah satu akun dengan ribuan pengikut menulis: “Daripada menghina, lebih baik belajar menghargai. Tanpa pedagang pasar, kita nggak akan bisa makan sayur segar, ikan, dan bahan masakan setiap hari.”
Banyak juga yang mengusulkan agar anak muda lebih sering diajak berbelanja ke pasar tradisional sejak kecil agar terbiasa dan tidak merasa asing. Selain itu, belanja di pasar juga dianggap sebagai cara mendukung ekonomi lokal dan membantu para pedagang kecil agar tetap bertahan di tengah persaingan dengan ritel modern.
Kesimpulan: Belajar dari Insiden Viral
Kasus ini menjadi contoh nyata bagaimana sebuah tindakan kecil bisa menimbulkan dampak besar di era digital. Ekspresi spontan yang dianggap sepele ternyata bisa memicu kemarahan publik dan menjadi cermin bagaimana masyarakat menilai empati dan kesadaran sosial seseorang.
Pasar tradisional bukanlah tempat yang harus dihindari atau dihina. Di balik aroma dan suasananya yang khas, ada kisah perjuangan, keringat, dan semangat hidup ribuan orang yang bekerja keras demi keluarga mereka.
Daripada merasa jijik, alangkah baiknya jika kita belajar untuk menghargai dan memahami bahwa setiap tempat punya keunikan dan nilai tersendiri. Karena pada akhirnya, rasa hormat dan empati adalah hal yang tidak boleh hilang, di mana pun kita berada.
